Saturday, August 22, 2009

Sejarah Teori Belajar

Sejarah psikologi tidak bisa dilepaskan dari sejarah induknya, yaitu filsafat. Sejak psikologi masih menjadi bagian dari filsafat sampai psikologi menjadi ilmu yang ilmiah, pengaruh filsafat masih terasa, terutama dalam proses pembuatan teori-teori, tidak terkecuali teori-teori belajar. Bicara tentang sejarah teori belajar, akan lebih mudah jika mengetahui filsuf dan pendapatnya yang dijadikan panutan oleh ahli atau tokoh-tokoh teori belajar.

Secara garis besar sejarah teori belajar terbagi menjadi 4 tahap, yaitu :
1. Jaman Filsafat
Secara harafiah, filsafat berarti cinta pengetahuan atau kebijakan. Salah satu cabang filsafat yang mencari hakekat pengetahuan adalah epistemology. Dalam hal ini para filsuf berusaha menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan :
- What is knowledge ?
- What can we know ?
- What are the limits of knowledge ?
- What does it mean to know ?
- What are the origins of knowledge

Pertanyaan-pertanyaan di atas berawal dari jaman Yunani, tepatnya berasal dari pandangan-pandangan Plato dan Aristoteles; dimana pandangan tersebut masih mempengaruhi cara pandang filsuf sekarang.

a. Plato (427-347 BC)
Pandangan : knowledge bersifat bawaan, sehingga untuk memperoleh knowledge seseorang harus merefleksikan isi mind-nya
Tambahan :
Pandangan Plato yang pertama dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Sokrates, dimana Plato adalah salah satu murid dari Sokrates, yang tampak dalam tulisan yang berisi tentang dialog antara Sokrates (sebagai guru) dengan murid-muridnya.
Plato pergi ke Italia, sebagai bentuk rasa sedih karena gurunya (Sokrates) harus dihukum mati. Di Italia pandangannya dipengaruhi oleh Pythgagoras, “the universe was governed by numerical relationship that influenced the physical world. In fact, numbers and their various combinations caused events in the physical world. And both events, the number and the empirical event that it caused, were real”
Jadi menurut kelompok Pitagoras bahwa “abstract had an independent existence and was capable of influencing physical objects. Furthermore, physical events were thought to be only manifestations of the abstract. Although number and matter interact, it is matter that we experience with our senses, not number. This results in a dualistic view of the universe, in which one aspect can be experienced through the senses and the other cannot.

Berdasarkan pandangan di atas, maka Plato dapat dimasukkan dalam kelompok
Nativisme : karena menganggap bahwa knowledge berasal dari bawaaan
Rasionalisme : karena mind secara aktif mencari knowledge, dimana mind must engage in active introspection to discover inherited knowledge
Dualisme : membedakan antara mind dan body

b. Aristoteles (384-322 BC)
Pandangan : pengetahuan diperoleh dari pengalaman, pengelaman-pengelaman atau (recall) tersebut membentuk pengetahuan melalui suatu hukum asosiasi.
Hukum asosiasi yang digunakan oleh Aristoteles adalah :
Law of similarity, recall pada objek-objek yang mirip
Law of contrast, recall pada objek-objek yang berlawanan
Law of contiguity, recall pada objek-objek yang sering beriringan, yang kemudian diubah menjadi
Law of frequency, recall pada objek-objek yang sering muncul bersama.

Lebih lanjut menurut Aristoteles bahwa, ide muncul dari pengelaman sensori, dimana pengalaman-pengalaman tersebut akan menimbulkan pengalaman-pengalaman lain sesuai dengan hukumnya. (lihat Hergenhahn halalaman 32)

Sumbangan Aristoteles :
Menulis buku berjudul De Anima, yang berisi tentang :
Indra sensori, yang terdiri dari penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan dan perabaan.
Dasar-dasar konsep memori, berpikir dan learning

Weimer (1973) berpendapat bahwa :
A moment’s recollection …… shown that Aristotle’s doctrines are at the heart of contemporary thought in epistemology and the psychology of learning. The centrality of associationism as the mechanism of the mind is so well known as to require only the observation that not one single learning theory propounded in this century has failed to base its account on associative principle.

Berdasarkan pandangan di atas, maka Aristoteles dapat di masukkan dalam kelompok :
Empirisme karena menganggap bahwa pengalaman sensori sebagai dasar dari semua pengetahuan
Rasionalisme karena menganggap bahwa mind is actively involved in the attainment of knowledge, dimana mind must actively ponder the information provided by the senses to discover the knowledge contained within that information
Asosiasionisme karena ia berpendapat bahwa hubungan antar ide dapat dijelaskan melalui hukum asosiasi yang disebut dengan asosiasionisme.

Perbedaan antara Plato dengan Aristoteles
The laws, forms or universals that Aristotle was looking for did not have an existence independent of their empirical manifestation, as they did for Plato. They were simply observed relationship in nature
For Aristotle, knowledge is based on sensory experience. This, of course, was not the case with Plato. It is because Aristotle contended that the source of all knowledge is sensory experience.

2. Awal Psikologi Modern
a. Rene Deskartes (1596-1650)
Pandangan :
Cogito ergo sum
Deskartes melakukan pendekatan pada semua filosofi penelitian berdasarkan pada doubt atau keraguan. Ia berkata bahwa ,”I can doubt everything, ”except one thing and that is the very fact that I doubt. But when I doubt I think; and when I think I must exist.” Kesimpulan dari pandangannya bahwa “I think; therefore I am.”
Jadi pengalaman sensori hanya merupakan refleksi dari objek lingkungan yang harus diterjemahkan melalui berpikir. Alat yang digunakan untuk berpikir adalah mind, dimana mind berasal dari bawaan; dan hanya dimiliki oleh manusia.
Tambahan :
Pandangan ini dipengaruhi oleh Plato. Innate ideas tidak diperoleh dari pengalaman tetapi berintegrasi dengan mind. Contoh-contoh innate ideas, antara lain : konsep Tuhan, konsep diri, rumus-rumus geometri, ide-ide tentang ruang angkasa, waktu dan gerak.

Mind and body
Deskartes membedakan antara mind dan tubuh. Tubuh bekerja sesuai perintah dari mind, sehingga tergantung pada mind, sebaliknya mind bekerja secara bebas dan unik; dimana mind hanya dimiliki oleh manusia,

Reflex action
Meskipun tubuh bergerak sesuai perintah dari mind, tetapi kesan indrawi juga dapat menggerakkan tubuh. Jika stimulus diterima oleh indra, maka stimulus ini akan dilanjutkan ke otak, kemudian otak akan memerintahkan otot untuk bergerak, sehingga timbul gerakan.

b. Thomas Hobbes (1588-1679)
Pandangan :
Pengetahuan berasal dari kesan indrawi.
Hobbes masuk dalam kelompok empirisme
Pendekatan appetites dan aversion
Pengalaman yang bisa membantu fungsi tubuh akan menimbulkan rasa senang dan cenderung akan dicari; sedangkan pengalaman yang menekan fungsi tubuh akan menimbulkan rasa tidak senang dan cenderung untuk dihindari. Stimulus yang didekati oleh individu disebut dengan “good” sedangkan yang dihindari oleh individu disebut dengan “evil”. Jadi nilai good atau evil tergantung pada individu.

Tambahan :
Pandangan tersebut dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832), dimana perilaku manusia dipengaruhi (governed) oleh “pleasure principle”. Ide tersebut kelak akan digunakan oleh Freud dan ahli-ahli teori reinforcement.

c. John Locke (1632-1704)
Pandangan :
Mind dibentuk oleh idea, dimana idea berasal dari pengalaman. Oleh sebab itu pengetahuan bukan berasal dari mind tetapi berasal dari pengalaman. Asumsinya, jika idea berasal dari bawaan, maka setiap orang memiliki idea tersebut, padahal cara berpikir dan kepercayaan setiap budaya sangatlah berbeda. Oleh sebab itu, bayi yang lahir adalah sebuah tabula rasa, sebuah kertas kosong, dan pengalaman yang akan menulisinya.

Primary dan secondary quality
The mind becomes that it experiences; there is nothing in the mind that is not first in the senses. Simple idea come directly from sense experience; complex idea come from combining simple idea.
Primary quality adalah kesan indrawi terhadap suatu benda, misalnya bentuk, warna, bau, tekstur dan lain-lain, sedangkan secondary quality (pengalaman psikologis) adalah gambaran/sifat benda setelah dipersepsikan.

Tambahan :
Perbedaan antara primary dan secondary qualities menyebabkan psikologi dianggap tidak pernah bisa menjadi ilmu ilmiah. Secondary quality yang bersifat kognitif, tidak dapat dianalisa seperti halnya primary quality. Keadaan inilah yang dijadikan dasar oleh aliran behaviorisme untuk menjadikan perilaku yang nampak sebagai objek penelitian.

d. George Berkeley (1685-1753)
Pandangan :
Esse ist Percipi (kebenaran adalah persepsi) yang berarti bukan objeknya yang benar, melainkan persepsilah yang benar. Menurut Berkeley bahwa pengalaman individu hanya berasal dari secondary quality

Tambahan :
Pandangan ini berasal dari penolakan terhadap Locke, tentang secondary quality yang berasal dari primary quality. Ideas are the only things we experience directly and are therefore the only things we can be sure of.

Termasuk empiris, karena masih menganggap bahwa isi dari mind berasal dari pengalaman dengan objek.

e. David Hume (1711-1776)
Pandangan :
Mind tidak lebih dari aliran idea, memori, imaginasi, asosiasi dan feeling
Tambahan :
Pendapat Hume sama dengan Berkeley, dimana we could know nothing for sure about the physical environment; tetapi ia juga menambahkan pandangan Berkeley, dimana we could know nothing for sure about ideas. We can be sure of nothing.

Pengetahuan berisi idea, yang beberapa diantaranya berasal dari pengalaman dan hubungan antara pengalaman tersebut berdasarkan prinsip-prinsip asosiasi.
Tambahan :
Hume dapat dimasukkan dalam kelompok empirisme dan asosiasi. Ia percaya bahwa knowledge terdiri dari ide yang sebagian besar berasal dari pengalaman, dan diasosiasikan melalui prinsip-prinsip asosiasi. Hume berkata bahwa , “ we only experience the empirical world indirectly through our ideas. Even the laws of nature are constructs of the imagination; the lawfulness of nature is in our minds, not necessarily in nature.

Hergenhahn (1997) menyimpulkan filosofi Hume
Hume had argued that all conclusion we reached about anything were based on subjective experience because that was the only thing we ever encountered directly. According to Hume, all statements about the nature of the physical world or about morality were derived from impressions and ideas and the feelings that they aroused, as well as from the way they were organized by the law of association. Even causation which was so important to many philosophers and scientists, was reduced to a habit of the mind in Hume’s philosophy. For example, even if B always follows A and the internal between the two is always the same we cannot ever conclude that A causes B, because there is no way for us to verify an actual, causal relationship between the two events. For Hume, rational philosophy, physical science, and moral philosophy were all reduced to subjective psychology. Therefore, nothing could be known with certainty because all knowledge was based on the interpretation of subjective experience.

f. Immanuel Kant (1724-1804)
Pandangan : Mind adalah sumber dari pengetahuan. Dimana pengetahuan dijelaskan dengan istilah lain, bukan reduksi pengalaman sensori.
Tambahan :
Kant menolak pandangan Hume, ia berusaha untuk meluruskan perbedaan antara rasionalisme dengan empirisme.

g. John Stuart Mill (1806-1873)
Pandangan : Pengetahuan berasal dari kesan indrawi, dimana kombinasi dari simple idea akan menghasilkan suatu totalitas, yang mungkin berbeda dengan simple idea yang membentuknya.

3. Sejarah Lain yang Mempengaruhi Teori Belajar
a. Thomas Reid (1710-1796)
Pandangan :
Pengetahuan berasal dari mind, dimana mind mempunyai kekuatan sendiri sehingga mempengaruhi cara individu mempersepsi lingkungan. Menurut Reid bahwa manusia mempunyai 27 faculty (daya), yang kebanyakan berasal dari bawaan (faculty psychology)
Tambahan :
Reid menolak pandangan elementisme dari empirisme, meskipun cara pandangnya berbeda dengan John Stuart Mill. Sama halnya Kant, Reid percaya bahwa mind mempunyai kekuatan sendiri, dimana kekuatan tersebut mempengaruhi cara mempercepsi lingkungan. Ada 27 fakulti (kekuatan/daya) di mind, yang sebagian besar berasal dari bawaan. Pandangan yang menganggap keberadaan fakulti dalam mind disebut dengan faculty psychology. Ahli-ahli faculty psychology dimasukkan dalam kelompok gabungan antara nativisme, rasionalisme dan empirisme.
Reid berpendapat bahwa pendapat Hume tentang “we cannot know anything directly about the physical world” was ridiculous. Hergenhahn (1997) menyimpulkan pandangan Reid tersebut sebagai berikut :
Reid argued that because all humans were convinced of the existence of physical reality, it must exist ………If Hume’s logic caused him (Hume) to conclude that we could never know the physical world, then, said Reid, something was wrong with Hume’s logic. We can trust our impressions of the physical world because it makes common sense to do so. We are naturally endowed with the abilities to deal with and make sense out of the world.

b. Franz Joseph Gall (1758-1828)
Pandangan :
Membawa faculty psychology selangkah lebih maju. Pertama, faculties tersebut berada di otak; kedua, keberadaan faculties tiap orang tidak sama; ketiga, jika faculties tersebut dikembangkan secara maksimal akan mengakibatkan benjolan-benjolan di tengkorak dan sebaliknya jika faculties tersebut tidak pernah dilatih (dikembangkan) maka akan mengakibatkan lobang-lobang di tengkorak
Gall membuat skema tentang letak faculties. Berdasarkan skema maka dapat menganalisa faculties yang dikembangkan dan yang tidak dikembangkan. Pendekatan ini disebut dengan phrenology.




Tambahan :
Prenologi membawa dampak positif pada psikologi, pertama karena bagus dan kedua karena questionable.
Pertama, prenologi mendorong munculnya penelitian-penelitian untuk mengetahui fungsi bagian-bagian otak.
Kedua, banyak ahli-ahli psikologi prenologi percaya bahwa fakulti dapat dilatih menjadi kuat seperti layaknya otot-otot bisep. Dalam hal ini, ahli psikologi fakulti menyebutnya dengan pendekatan belajar “mental muscle”. Learning, berarti memperkuat fakulti melalui latihan. Seseorang dapat meningkatkan kemampuan reasioning melalui latihan matematika atau bahasa Latin. Suatu pandangan yang menganggap bahwa latihan dapat meningkatkan fakulti tertentu disebut dengan formal discipline, sebuah konsep yang memberikan jawaban akan pertanyaan tentang “how learning transfers from one situation to another”.

c. Charles Darwin (1809-1882)
Pandangan :
Darwin mendukung pandangan tentang evolusi biologis,
Mengubah pandangan tentang hakekat manusia. Pada dasarnya manusia adalah kombinasi antara bawaan dan pengalaman.

d. Hermann Ebbinghaus (1850-1909)
Pandangan :
Proses asosiasi dipelajari dengan menggunakan “higher mental process” pada belajar dan memory

4. Sekolah Pertama Psikologi
a. Voluntarism
b. Structuralisme
c. Fungsionalisme
d. Behaviorisme